Malu Ketemu Orang Baru

Malu Ketemu Orang Baru

Ketika ingin dititipkan di RUMAH ANAKKU ANYELIR dafa (nama samaran) berlindung di bulakang bundanya, saat hendak ditinggal bundanya untuk bekerja dafa tidak ingin lepas dan menangis, kemudian salah seorang pengasuh kami mengambil dan digendonglah dafa, emang sih dalam mengambilnya terkesan agak sedikit memaksa, tapi memang pada waktu itu cara yang paling tepat kami lakukan ya seperti itu, krn bundanya jg mau pergi bekerja. di dalam gendongan pengasuh dafa dibujuk agar tidak menangis dan mau dikenalkan pada kawan-kawannya, namun ia tetap menggeleng, hal itu berlangsung selama 5 hari...setelah seminggu berjalan ada beberapa kawanya yang tidak hadir, eh...dafa mulai menunjukan suaranya, si fulan mana? si fulan mana?

Perasaan malu sebenarnya muncul sebagai gambaran anak sudah mulai mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya. Istilah psikologinya self-understanding atau pemahaman mengenai diri sendiri. Biasanya hal ini dimulai pada usia sekitar satu setengah tahun. Misalnya, anak sudah tahu rambutnya keriting atau lurus, tubuhnya kurus atau gemuk. Nah memasuki usia tiga tahun, seiring dengan perkembangan cara berpikirnya, anak pun sadar jika orang lain dapat menilai dirinya dengan cara tertentu.

langkah awal untuk melatihnya berani tampil adalah dengan menciptakan kondisi agar anak sering bertemu orang lain. Perkenalkan sosialisasi sejak dini. Bagi orangtua yang sibuk bekerja, manfaatkan hari libur untuk merangsang sosialisasi si kecil. Saat pergi kondangan misalnya, ajak anak ikut serta. Di sana ia akan melihat dan bertemu banyak orang, ia jadi kenal keramaian. Ingatkan juga agar pengasuh jangan mengeram anak di rumah seharian. Sekali-kali ajak anak bertandang ke tempat-tempat umum seperti taman yang letaknya tak jauh dari rumah, atau menemaninya bermain-main dengan anak tetangga.

Memberi kebebasan kepada anak mengambil keputusan juga dapat membentuk jati dirinya. Sejak usia tiga tahun kepercayaan dirinya sedang tumbuh sehingga ia merasa dapat melakukan semua sendiri. Saat itu, mulailah egonya muncul. Ia tahu apa yang bisa dilakukan dan yang tidak, hingga akhirnya ia dapat membentuk suatu konsep diri yang utuh. Bila anak merasa dapat melakukan banyak hal, konsep dirinya akan positif. Sebaliknya, kalau ia sering diserang dengan berbagai hal negatif maka anak akan susah untuk percaya diri.

Si kecil yang selalu malu bicara dengan orang lain, bisa jadi karena ia sering mendengar kata-kata seperti, “Adek jangan begitu sama Oom dan Tante, nggak baik itu. Itu nggak sopan.” Atau, tanggapan seperti, “Adek nyanyinya jangan teriak-teriak begitu, terlalu kenceng, berisik!” Hati-hati, ini juga bisa membuat anak malu bila harus melantunkan suara. Nah, jadi, orangtua juga perlu memperhatikan ucapannya buat si kecil ya..

Mengajarkan Sosialisasi Pada Anak

Mengajarkan Sosialisasi Pada Anak

Selayaknya kita mengajarkan anak bersosialisasi sejak usia dini. Hal ini untuk mencegah si anak tidak bisa bergaul dengan lingkungan sekitar atau istilah kerennya kuper alias kurang pergaulan.

Pada umumnya, seorang anak sudah dapat berkomunikasi dengan lingkungan sejak lahir ke dunia. Lewat tangisan, si kecil mengatakan keinginannya seperti: lapar, kesakitan, ketakutan, atau ada perasaan tidak nyaman lainnya.

Di sinilah peran orangtua mengajarkan sosialisasi. Jika orangtua mengembangkan lingkungan yang menarik dan merangsang, maka anak dapat belajar dari lingkungannya.

Menstimulasi anak usia 3 bulan bisa dimulai dengan memeluk dan menimangnya dengan penuh kasih sayang. Ajak si kecil tersenyum, bicara, serta perdengarkan suara mengaji dan adzan.

Menginjak umur 6 bulan, ucapkan kata-kata yang mudah ditiru bayi (misal: ”mama”). Berikan mainan gambar-gambar yang lucu atau perhatikan binatang-binatang yang ada di sekitar (contohnya: kucing, ayam, dan yang lainnya).

Saat usia 9 bulan, beri biskuit untuk melatihnya memegang dan memasukkan ke dalam mulut. Kemudian beri berbagai mainan dan sering bermain cilukba.

Setelah umur 12 bulan, biasakan si kecil bermain dengan teman sebayanya dan berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitar. Aktivitas di luar rumah perlu diperkenalkan dengan suasana yang berbeda, misalnya di taman atau di rumah saudara.

Perlu Anda ketahui, cara ini tidak hanya mengajarkan bersosialisasi pada anak, tapi juga dapat mendeteksi kemungkinan terjadi penyimpangan perkembangan sosialisasi dari awal.

Biasanya hal ini terdapat pada pendirita autisme atau gangguan perilaku lainnya.

Kiat Memilih Lembaga Pra Sekolah

KIAT MEMILIH LEMBAGA PRA SEKOLAH

Sebagian ahli pendidikan masih belum sepakat untuk urusan sekolah bagi batita. Yang pro menganggap bahwa usia balita adalah masa-masa keemasan, di mana orangtua perlu memberikan pendidikan yang baik pada anaknya dengan berbagai cara, termasuk dengan menyekolahkannya pada usia dini. Namun, mereka yang kontra berpendapat bahwa memasukkan batita pada lembaga prasekolah dikhawatirkan membuat anak lekas bosan bersekolah. Bahayanya ialah, anak mogok sekolah justru pada usia di mana ia harus sudah masuk sekolah dengan tertib dan menuntaskan pendidikan dasarnya. 
Terlepas dari dua pendapat tersebut, bila Anda bertekad untuk memasukkan anak ke lembaga prasekolah, pertimbangkan hal-hal berikut dalam memilih sekolah yang aman dan nyaman untuk Anda dan buah hati, yaitu:
1. Jarak dari rumah ke sekolah. Sebaiknya pilih sekolah yang tidak jauh dari rumah supaya si kecil tidak terlalu letih dalam perjalanan.
2.  Kurikulum yang memasukkan unsur bermain lebih banyak. Usia balita merupakan usia emas yang pendekatan bermainnya harus lebih banyak. Belajar dapat dilakukan sambil bermain.
3.  Jumlah jam sekolah dan frekuensinya. Karena masih kecil, sebaiknya jumlah jam sekolah buat anak batita tidak terlalu banyak. Misalnya, bila ia masuk pada pukul 7.30, sebaiknya jam sekolah sudah berakhir pada pukul 10.00 supaya ia tidak terlalu lelah. Demikian pula dengan frekuensinya, tidak perlu harus setiap hari, tapi bisa hanya 2-3 kali seminggu.
4.  Rasio murid dan guru dalam satu kelas. Bila jumlah murid terlalu banyak, bisa dipastikan seorang guru akan kewalahan. Idealnya, jumlah guru minimal dua orang untuk murid sampai 20 orang dalam satu kelas supaya setiap anak dapat diperhatikan dengan baik, terutama karena anak-anak kecil umumnya membutuhkan perhatian yang menyeluruh.
5.  Penerapan disiplin yang dilakukan. Carilah sekolah yang fleksibel penerapan disiplinnya karena usia balita membutuhkan waktu untuk memahami peraturan dan rutinitas.
6.  Sehat secara fisik. Dalam arti, ruang kelas tidak sempit, pencahayaan baik di mana sinar matahari dapat masuk dari sebelah kiri (karena anak umumnya menggunakan tangan kanan), ventilasi terawat, dan meja belajar terlindungi dari bahan atau bentuk yang bisa membuat anak balita cedera